Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Cerpen’ Category

Lereng Sunyi Merapi

Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

(1)

MALAM baru saja turun. Tapi kesunyian sudah menelan desa di lereng Merapi itu. Dari ujung desa, dua ekor burung gagak terbang beriringan dan meneriakkan suaranya yang menyibak sunyi malam. Oak! Oak! Oak!

Dua ekor burung gagak itu kemudian melintas di atas rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak-teriak – Oak! Oak! Oak! – lalu hinggap secara bersamaan di sebuah pohon besar di depan rumah. Meski sudah bertengger di sebuah dahan, keduanya masih saja mengepak-ngepakkan sayapnya sambil tetap berteriak – Oak! Oak! Oak! Sepertinya ada yang ingin dikabarkan oleh kedua burung gagak itu kepada warga desa yang sejak petang sudah mengurung diri di dalam rumah.

Sejak malam turun, jalanan desa yang kiri-kanannya dipenuhi rimbun pepohonan itu dipagut sepi. Tidak seorang warga pun ada di jalanan. Entah mengapa, dalam beberapa hari terakhir, semua warga desa seakan sepakat bila sehabis mahgrib tidak lagi berada di jalanan atau di luar rumah. Mereka seakan-akan sedang berjaga-jaga di dalam rumah dengan penuh kecemasan.

Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak di langit malam. Teriakan nyaringnya mencemaskan empat orang lelaki yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Keempat lelaki itu bertetangga. Rumah-rumah mereka saling berdekatan. Dan, keempatnya berkumpul di rumah Parmo, yang paling tua di antara mereka.

“Burung-burung gagak itu datang lagi. Berteriak-teriak lagi,” kata salah seorang yang bertubuh tinggi dan berkumis.

“Ya, suara-suara gagak itu membuat aku jadi cemas,” ujar si pemilik rumah, Parmo.

“Jangan-jangan akan ada ……….., ah aku tak bisa meneruskannya. Aku ngeri. Aku takut untuk mengatakannya. Aku khawatir apa yang akan kukatakan itu nanti benar-benar terjadi. Ah, aku tak ingin lagi itu terjadi. Cukuplah …. Ya cukuplah sudah …….,” timpal salah seorang di antaranya yang berbadan kurus.

“Beberapa waktu lalu, ketika ada burung gagak berteriak-teriak seperti itu, sehari kemudian ada dua orang yang terbunuh di desa ini. Mereka adalah para pencuri sapi yang kepergok warga desa. Mereka diamuk, dan tewas,” kata seorang lagi yang berbadan gempal. “Malam ini burung-burung gagak itu datang lagi. Entah kabar buruk apa yang disampaikannya,” tambahnya.

Oak! Oak! Oak! Teriakan burung-burung gagak itu membahana lagi membelah malam. Suaranya semakin nyaring. Semakin keras. Semakin panjang.

“Sepertinya burung-burung itu hinggap di pohon rumah sebelah,” ujar Parmo.

“Rumah Pak Kasan, maksudmu?” tanya yang kurus.

“Ya. Cobalah dengar baik-baik, suara burung-burung gagak itu menjerit-jerit di depan rumah sebelah. Itu pasti di pohon rambutan depan rumah. Suaranya begitu nyaring. Begitu dekat.”

Oak! Oak! Oak! Terdengar pula suara ranting pohon yang jatuh. Sebatang ranting kering yang sudah lama rapuh patah, tak kuat menahan pijakan burung-burung gagak itu.

“Ah, kalau saja aku punya senapan, sudah kutembak burung-burung sial itu,” suara si kurus bernada geram.

“Heh, kenapa pula? Apa salahnya gagak-gagak itu hingga mau kau tembak?” lelaki tinggi dan berkumis terpancing pula untuk bertanya.

“Gagak-gagak itu pembawa bencana. Kalau dia datang dan berteriak-teriak malam-malam seperti ini, pasti akan ada bencana di desa kita. Akan ada jiwa yang melayang. Akan ada yang mati lagi. Besok entah siapa lagi yang mati?”

“Itu bukan salahnya gagak. Justru sebaliknya kita harus berterimakasih kepada gagak-gagak itu. Karena dia sudah memberitahu kita lebih dulu tentang akan adanya bahaya, adanya bencana, atau kematian. Dengan pertanda yang diberikan gagak-gagak itu, kita bisa berjaga-jaga dan bersiap-siap lebih dulu. Jadi, jangan salahkan gagak. Burung-burung itu tak bersalah dan tidak membawa bencana. Pembawa dan penyebab bencana itu biasanya ya manusia sendiri,” kata Parmo serius.

Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak.

 

(2)

Akan halnya di rumah Pak Kasan, Narti kembali membaca isi pesan singkat di telepon selularnya – Minggu dpn aku akn plang ke yogya. Aku pasti ke rumahmu. Aku ingin sekali mmandang Merapi yang indah itu lagi bsamamu. Tunggu, ya. – Wahyu.

Sejak diterimanya petang hari, setidaknya lebih dari enam kali sms dari Wahyu itu dibacanya. Hatinya berbinar-binar. Gembira. Betapa tidak, minggu depan ia akan bertemu lagi dengan Wahyu, pemuda sedesanya yang merantau ke Jakarta, dan yang selama ini diyakininya dengan sepenuh hati sebagai satu-satunya lelaki pujaan.

Pertemuannya yang terakhir dengan Wahyu terjadi enam bulan lalu. Dan, Narti ingat, sederetan kata-kata Wahyu ketika itu, yang diucapkan ketika mereka berdua duduk di pinggiran sungai, sambil memandang ke puncak Merapi yang mempesona. “Jika aku nanti pulang lagi ke desa, sudah kubulatkan tekad, bahwa aku tak akan ingin berjauhan lagi denganmu. Aku akan selalu berada di dekatmu,” ini kata-kata Wahyu saat itu.

“Maksudmu?” Narti ingat, tanya inilah yang spontan dilontarnya sore itu.

“Ya, maksudnya, kita akan selalu bersama. Berdua. Aku akan melamarmu. Lalu kita menikah. Akan kita jalani kehidupan ini bersama. Pendek kata, aku ingin sehidup dan semati denganmu. Kau bersedia kan, Nar?”

Narti tersenyum sendiri. Lalu, ia pun membayangkan saat-saat mendebarkan itu. Wahyu dan keluarganya datang ke rumahnya melamar, kemudian mereka menikah, duduk berdua di pelaminan, disaksikan sanak keluarga, kawan-kawan, para tetangga dan handai-tolan  lainnya. Ah, kebahagiaan yang tiada tara!

Narti melangkah ke jendela, lalu dibukanya jendela itu sedikit. Dipandangnya malam di luar rumah. Malam seperti dipeluk kelam. Cahaya lampu listrik di depan rumah yang hanya 25 watt tak mampu melawan kegelapan. Tapi dengan cahaya yang tipis itu ia sempat melihat awan hitam seakan bergerombol tebal di pucuk-pucuk pepohonan.

 

(3)

Wahyu gelisah membaca berita di koran-koran dan menonton tayangan berita di televisi bahwa Gunung Merapi beraksi lagi. Mulai meletus lagi! Dan, melontarkan awan panas! Ia pun sontak teringat desanya di lereng Merapi. Teringat kedua orangtuanya, adik-adiknya dan kerabatnya. Juga, Narti!

Tak ada pilihan lain. Selain secepatnya pulang ke Yogya. Hari itu juga ia minta izin di tempat kerjanya, lalu ke stasiun kereta api, naik kereta api apa pun yang paling awal bisa membawanya pulang ke Yogya.

Wahyu naik kereta api jurusan Jakarta – Surabaya yang berhenti di Yogya. Tengah malam ia sampai di Yogya. Lalu, sepedamotor ojek membawanya menembus dingin malam menuju desanya. Semula pengemudi ojek agak keberatan membawanya ke desa di lereng Merapi itu, tapi setelah disodori ongkos yang berlipat, pengemudi ojek itu pun mengangguk.

Ketika memasuki desa, kedatangannya disambut dengan suara nyaring burung-burung gagak – Oak! Oak! Oak!

(4)

KEESOKAN harinya stasiun-stasiun televisi sibuk memberitakan sebuah desa di lereng Merapi, yang terletak di pinggiran sungai diterjang awan panas yang dimuntahkan Gunung Merapi pada dini hari. Sejumlah warga desa itu ditemukan tewas.

Keesokan harinya lagi, tim evakuasi yang terdiri para relawan, anggota TNI dan Polri menemukan mayat Parmo tergeletak di depan rumahnya. Di sebelah rumah Parmo, tim evakuasi menemukan mayat seorang gadis tergeletak di depan pintu rumah. Dari dalam dompet di saku celana panjang yang dikenakannya ditemukan KTP atas nama Sunarti, usia 23 tahun. Kemudian di dalam rumah, ditemukan jasad lelaki tua berdampingan dengan perempuann tua. Sementara di depan rumah, tak sampai empat meter dari depan pintu, ditemukan pula seorang lelaki muda tergeletak tak bernyawa.

Desa di lereng Merapi itu sunyi, bagaikan desa mati. Burung gagak pun pergi.

Yogya, November 2010

(Dimuat Harian “Kedaulatan Rakyat” edisi Minggu, 14 Nov 2010)

Read Full Post »

Cerpen “RAHASIA LELAKI”

Rahasia Lelaki

Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

KEGEMBIRAAN lelaki itu seketika lenyap, ketika anak lelakinya datang dan memperkenalkan perempuan muda yang menjadi calon isterinya. Kegembiraan yang sudah dipendamnya selama tiga hari tiga malam itu mendadak berubah drastis menjadi kegelisahan yang dahsyat. Kegelisahan itu bercampurbaur dengan kecemasan dan ketakutan yang teramat sangat.
Tiga hari lalu, pagi-pagi sekali anak lelakinya yang baru sebulan diwisuda menjadi sarjana komunikasi itu datang menemuinya di beranda rumah.
“Pak, saya mau menikah,” kata anak lelakinya dengan suara agak tergagap.
Lelaki itu terpana. Ia merasa tak yakin dengan kata-kata yang baru saja didengarnya.
“Bapak merestui kan kalau saya mau menikah?” lagi anak lelakinya bersuara.
“Kamu mau menikah? Apa telinga Bapak tidak salah dengar?” lelaki itu bertanya dengan keheranan yang masih mengental.
“Tidak, Pak. Bapak tidak salah dengar. Saya kepingin menikah. Untuk itu saya minta Bapak dan Ibu segera melamar gadis calon isteri saya itu ke orangtuanya.”
Isteri lelaki itu muncul di beranda. Pembicaraan menjadi berhenti seketika.
“Lagi membicarakan apa? Saya datang kok langsung diam?” tanya isterinya, curiga.
Mereka saling pandang. Anak lelakinya mencoba tersenyum. Tapi di balik senyum itu terlihat jelas ada ketegangan di wajahnya.
“Ada apa, tho?” suara isterinya tak sabar.
“Ini lho, anak lelakimu ini menyatakan keinginannya untuk menikah. Ia minta kita untuk melamar seorang gadis, calon isterinya itu,” lelaki itu berkata apa adanya.
“Menikah? Melamar?” gumam isterinya, seperti tak yakin.
“Ya, itu yang tadi dikatakan anak lelakimu ini.”
“Tapi yang mau dilamar itu siapa? Anak siapa? Dan tinggal di mana? Apa perempuan Yogya? Perempuan Solo? Perempuan Magelang? Atau perempuan dari Gunungkidul?” tanya beruntun dari isterinya.
“Nah, itu tadi yang ingin kutanyakan. Tapi keburu kamu datang, pertanyaannya jadi buyar.”
“Ayo, sekarang jelaskan, siapa gadis pilihanmu itu? Siapa orangtuanya? Dan di mana tinggalnya?” tanya isterinya ini ditujukan kepada anak lelakinya.
Dicecar pertanyaan seperti itu, anak lelakinya pun gugup.
“Ayo, cepat katakan. Biar semuanya jadi jelas.”
“Namanya …… namanya ….. Trisnani. Nama orangtuanya …….. wah …. saya masih belum jelas. Nantilah saya tanyakan. Tapi orangtuanya tinggal di Jakarta,” jawab anak lelakinya terbata-bata.
“Dan perempuan yang ingin kau lamar itu sekarang tinggalnya di mana? Di Jakarta atau di Yogya?”
“Dia kost di Yogya. Dia baru saja lulus D-3 Perhotelan.”
“Sudah berapa lama kau kenal dia?”
“Sekitar satu tahun. Tapi pacarannya ya baru enam bulanan ini.”
“Belum pernah diajak kemari?”
“Belum. Saya sengaja tidak pernah mengajaknya ke rumah dan mengenalkannya kepada Bapak dan Ibu, soalnya biar jadi kejutan.”
“Apakah niatmu ini sudah bulat?”
“Sudah.”
“Baiklah, nanti biar Bapak dan Ibu rundingkan dulu. Dan yang penting, ajak anak perempuan itu ke mari, kenalkan pada Bapak dan Ibu.”
“Baik, nanti tiga hari lagi dia saya kenalkan kepada Bapak dan Ibu.”
Malam hari, lelaki itu dan isterinya pun sibuk membicarakan keinginan anak lelakinya untuk menikah.
“Tentang keinginan anak kita itu, menurutmu bagaimana, Bu?” tanya lelaki itu ketika bersama isterinya sudah berada di atas tempat tidur.
“Ya, terserah Bapak saja.”
“Kalau menurutku, ya senang-senang saja kalau dia mau menikah. Mau punya isteri. Apalagi dia sudah sarjana. Dan terus terang, di usia-usia menjelang senja seperti ini aku memang sudah kepingin punya cucu. Kepingin momong cucu. Wah, betapa bahagianya kalau punya cucu.”
“Ah, melamar saja belum. Apalagi menikah. Kok, sudah menghayal momong cucu. Bapak ini mengada-ada saja.”
“Aku tidak mengada-ada, Bu. Aku mengatakan hal yang sebenarnya akan terjadi nanti. Karenanya kita harus segera memenuhi keinginan anak kita itu, melamar calon isterinya. Melamar secepatnya. Biar cepat pula mereka menikah. Dan kemudian akan cepat pula kita punya cucu.”
“Tapi, anak kita itu kan belum bekerja, Pak. Bagaimana nanti ia mengurusi rumahtangganya?”
“Ah, soal bekerja itu soal nanti. Yang penting, aku ingin cepat-cepat punya cucu. Apalagi kita kan masih sanggup bila hanya membiayai kehidupan seorang menantu dan seorang cucu. Bahkan beberapa cucu pun masih sanggup.”
Tiga hari yang dijanjikan anak lelakinya pun tiba. Menjelang petang anak lelakinya datang bersama seorang perempuan muda. Perempuan muda itu cantik. Berkulit kuning langsat. Rambutnya tergerai ikal sebahu. Dan, ada lesung pipit di kedua pipinya.
Lelaki itu sudah tak sabar lagi untuk melihat wajah calon menantunya. Isterinya yang sedang berada di dapur langsung ditariknya menuju ke ruang tamu.
“Ayo Bu, calon menantu kita sudah datang,” serunya gembira sambil menarik lengan isterinya.
“Sabar dulu tho, Pak. Biarkan dia duduk dulu di ruang tamu.”
“Aku sudah tidak sabar untuk segera melihatnya, Bu.”
Begitu muncul di ruang tamu, lelaki itu terpana sesaat. Matanya nyaris tak berkedip sedikitpun. Perempuan muda yang dibawa anak lelakinya itu benar-benar cantik. Luar biasa! Dia benar-benar cantik! Betapa bangganya punya menantu secantik itu! Isterinya pun terpesona. Ada kegembiraan yang meledak-ledak dalam hatinya menyaksikan anak lelaki semata wayangnya itu begitu pandai memilih calon isteri.
“Pak …Bu…, kenalkan ini Trisnani yang saya ceritakan itu,” kata anak lelakinya memperkenalkan perempuan muda yang bersamanya.
Trisnani, perempuan cantik yang dibawa anaknya itupun mengulurkan tangan dengan sopan dan malu-malu. Lelaki itupun menyambutnya dengan gembira dan penuh semangat. Isterinya juga melakukan hal yang sama.
Mereka lalu terlibat pembicaraan yang hangat dan menyenangkan.
“Orangtua Nak Trisnani tinggal di Jakarta?” lelaki itu mulai bertanya.
“Betul, Pak,” perempuan yang dikenalkan anaknya itu menjawab lembut.
“Boleh kami tahu, siapa nama orangtua Nak Trisnani?” lelaki itu bertanya lagi, untuk mengetahui lebih jauh tentang keluarga sang calon menantu.
“Nama ayah saya, Pramono. Lengkapnya, Pramono Sulistyo.”
“Oooo,” lelaki itu manggut-manggut. Juga isterinya.
“Kalau nama ibunya, siapa?” isteri lelaki itu ikut bertanya, ketika perempuan kekasih anaknya baru saja akan melanjutkan kata-katanya.
“Ibu saya, namanya Farida.”
“Siapa?” tanya lelaki itu untuk lebih meyakinkan lagi nama yang baru saja didengarnya.
“Farida, Pak. Lengkapnya Farida Utaminingsih.”
Lelaki itu tergetar. Nama yang diucapkan itu mengingatkannya pada seseorang. Pada seorang perempuan yang dulu sempat singgah dalam kehidupannya.
“Farida Utaminingsih?” tanpa sadar lelaki itu mengucapkannya, meski lirih.
“Betul. Dan waktu muda dulu, ibu saya lebih dikenal dengan nama Farida Santoso.”
Dada lelaki itu tak hanya tergetar, tapi tergoncang. Lelaki itu menahan napas, dan mencoba menahan getaran serta goncangan di dadanya.
“Ya, Farida Santoso. Santoso itu kakek saya, tapi sekarang sudah almarhum. Kakek saya itu orang Yogya, dan sekarang saya tinggal di rumah kakek.”
“Di mana?”
‘Di Kotagede.’
Getaran dan goncangan di dada lelaki itu semakin dahsyat. Tubuhnya terasa lemas dan berkeringat dingin. Tapi ia masih belum yakin sepenuhnya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia masih ingin bertanya. Bertanya lebih jelas lagi.
“Berapa usia Nak Trisnani sekarang?” lelaki itu bertanya lagi dengan harap-harap cemas.
“Duapuluh satu tahun, Pak. Saya lahir tahun 82.”
Dada lelaki itu seperti ditusuk tombak.
“Oh iya, saya ada membawa foto ibu saya, tapi fotonya waktu muda dulu, semasa masih di Yogya,” kata perempuan kekasih anaknya lagi sambil membuka dompet dan mengeluarkan sehelai foto, lalu menyerahkannya ke lelaki itu.
Tangan lelaki itu tergetar menerimanya. Dan, jantungnya seperti berhenti berdetak, takkala memandang sehelai foto perempuan yang ada di tangannya. Betapa tidak. Wajah di foto itu tak mungkin dilupakannya. Wajah itu, wajah yang pernah punya arti. Wajah yang dulu sempat menyelusup ke dalam hatinya. Wajah Farida Santoso. Wajah kekasih gelapnya kala itu.
Lelaki itu tak mampu bersuara lagi. Getaran dan goncangan di dadanya kian memuncak. Dadanya sesak. Kepalanya memberat, bagai dibebani bongkahan-bongkahan batu. Dan matanya mendadak berkunang-kunang.
Setelah meletakkan foto itu di meja, tanpa berkata apa-apa lagi, ia mencoba bangkit dari duduk. Tapi tubuhnya limbung dan terhuyung-huyung.
“Eh ……..Pak, kenapa?” isterinya terkejut melihat lelaki itu nyaris terjatuh.
“Kepalaku mendadak pusing. Pusing sekali,” lelaki itu masih sempat berkata begini.
Lelaki itu dipapah, dibawa ke kamar oleh isteri dan anaknya. Sementara perempuan yang menjadi kekasih anaknya hanya bingung dan terheran-heran.
****
DI DALAM kamar, setelah ditinggal isteri dan anaknya keluar, lelaki itu berbaring dengan kegelisahan yang sulit dikendalikannya lagi. Kegelisahan itu begitu dahsyat. Begitu luar biasa. Seumur hidup belum pernah ia merasakan kegelisahan sedahsyat ini.
Ingatannya lalu melayang ke masa-masa duapuluh tahun lebih yang lalu. Ingatannya tertuju ke sebuah nama, Farida Santoso. Nama yang tadi disebutkan oleh kekasih anak lelakinya sebagai nama ibunya. Padahal, nama itu adalah nama kekasih gelapnya dulu. Nama pasangan selingkuhnya waktu itu.
Ia pun lalu ingat, suatu hari duapuluh satu tahun lalu, Farida Santoso datang menemui dan mengatakan dirinya hamil. Dan, iapun ingat, bagaimana terlukanya hati Farida waktu itu, karena ia mengatakan tidak bisa bertanggungjawab, karena sudah punya anak isteri. Untunglah Farida tidak terus mendesaknya, bahkan memilih membawa luka hatinya ke Jakarta.
“Kalau begitu, perempuan kekasih anakku itu pasti anakku juga. Pasti anak dari benihku yang dikandung Farida dulu, dan yang dibawanya pergi meninggalkan Yogya. Kalau begitu, ia tidak boleh jadi menantuku. Tidak. Sama sekali tidak boleh. Ia adalah anakku juga,” deretan kata-kata ini menerjang keras di dalam dadanya.
Dan, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk memberitahukan kepada anak lelakinya, juga kepada isterinya, tentang siapa Trisnani sebenarnya. Tapi ia tak kuasa melakukannya. Ia tidak punya keberanian untuk membuka rahasia kelam masa lalunya. Ia tak kuasa untuk membuat hati isterinya terluka. Mulutnya seakan terkatup rapat, tak bisa digerakkan.
Di dalam kamar, ia pun terkulai, tak berdaya.***
Yogya, 2003.

Read Full Post »

Lelaki yang Rindu Pulang Cerpen Sutirman Eka Ardhana BERTAHUN-TAHUN kurindukan saat seperti ini, malam-malam duduk di ujung pelabuhan, memandangi kemilau purnama yang memantul keemasan di atas permukaan air dan mendengarkan merdunya senandung angin selat yang mendesau di Selat Bengkalis. Ya, bertahun-tahun semuanya kurindukan, bertahun-tahun selalu datang dalam malam-malam tidurku, dan bertahun-tahun pula senantiasa menyertai langkah-langkah hariku. Kekaguman dan kecintaanku pada laut sudah tertanam sejak kecil. Ketika kecil dulu, hampir setiap petang Ayah selalu mengajakku duduk-duduk di ujung pelabuhan, menyaksikan berbagai pesona keindahan di Selat Bengkalis. Menyaksikan ombak yang menggulung-gulung kecil dan luruh ke tepian. Menyaksikan ikan-ikan tembakul seperti saling berkejaran di pantai. Menyaksikan perahu-perahu nelayan yang menjauh dan menghilang di balik teluk. Menyaksikan burung-burung terbang pulang ke sarang. Dan, menyaksikan semburat jingga matahari di ujung barat yang akan membenamkan diri di balik pulau. Dan malam ini, semua kerinduan itu akan kutumpahkan. Kerinduan yang menggumpal selama bertahun-tahun itu kini sudah kubawa ke ujung pelabuhan. Aku sendiri di ujung pelabuhan. Tak ada siapa-siapa. Pelabuhan sepi. Tak ada satu kapal pun yang bersandar. Tapi aku menyukai suasana seperti ini. Karena dengan begini, tidak akan ada yang mengganggu keasyikanku melepas semua kerinduanku. Tak ada yang menggangguku mendengarkan merdunya nyanyian ombak. Tak ada yang mengangguku menikmati lembutnya belaian angin selat. Tak ada yang menggangguku menyaksikan betapa indahnya hamparan selat yang disiram cahaya purnama. Setelah beberapa saat duduk dan diam sendiri seraya pandangan tak pernah lepas dari hamparan selat, tiba-tiba muncul dalam pikiranku keinginan adanya orang lain. Sesungguhnya menyenangkan juga bila ada orang lain di ujung pelabuhan ini, pikirku. Andaikan ada orang lain, tentu bisa diajak bercakap-cakap. Bisa dijadikan kawan ngobrol. Ngobrol tentang laut. Tentang selat. Gelombang. Ikan. Kapal. Perahu. Angin. Atau tentang apa saja. “Sendiri, Bang?” tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki. Suaranya agak berat. Aku terkesiap. Aku cepat menoleh ke samping kanan, ke arah datangnya suara itu. Seorang lelaki berkopiah terlihat duduk, sekitar dua meter di samping kananku. Dari bantuan cahaya lampu di ujung pelabuhan yang tak begitu terang, terlihat ia sedikit lebih tua dariku. Kapan datangnya lelaki ini? Kenapa tak kudengar suara detak langkahnya di atas papan lantai pelabuhan? Seperti angin, ia muncul tiba-tiba, dan menyapa. “Sedang apa, Bang?” suara lelaki itu terdengar lagi. Dari logat dan gaya bicaranya kupastikan ia bukan warga asli di kota ini. Ia pasti warga pendatang. Aku masih terdiam. Hanya memandangnya dengan penuh selidik. Siapa dia? “Sedang memancing?” “Oh, tidak. Saya tidak sedang memancing. Sedang duduk-duduk saja. Hanya memandang laut. Memandang kecipak air di selat ketika malam,” kataku setelah rasa keterkejutanku benar-benar reda. “Memandang laut? Memandang selat?” “Ya. Lama saya tak memandangnya. Bertahun-tahun. Sekarang, selagi pulang ke kampung, saya ingin memandangnya puas-puas.” “Oh, kalau begitu, baru pulang kampung, Bang?” “Ya. Saya ingin berlebaran di kampung. Lama saya tak berhari raya bersama ibu dan sanak saudara yang lain. Kali ini saya ingin berlebaran bersama mereka.” “Selama ini di mana?” “Di Jawa. Setamat sekolah, saya ke Yogya, kuliah dan sekarang bekerja.” Terus terang, ada perasaan senang yang merambat di hati, karena sudah ada kawan untuk bercakap-cakap. Tapi kemudian, sepi terasa mencekam. Seakan tak terdengar suara kecipak air di selat, juga desau angin seperti mendadak pergi entah ke mana. Ujung pelabuhan benar-benar dipagut sepi. Apalagi memang tak ada satu kapal pun yang bersandar. Elahan napas lelaki yang di dekatku itu pun seakan tak terdengar. “Senang ya bisa berlebaran di kampung, dan berkumpul bersama keluarga. Tidak seperti saya,” tiba-tiba terdengar suara lelaki itu memecah kesunyian. Suaranya sendu. “Lho, memangnya kampung Abang di mana? Di sini juga, kan?” tanyaku spontan. “Tidak. Kampung saya tidak di sini. Kampung saya jauh di sana. Di Pulau Sumbawa.” “Jadi Abang dari Sumbawa?” “Ya. Saya dari Bima, Sumbawa.” “Maaf, nama Abang siapa? Dan, di sini tinggal bersama siapa?” tanyaku lagi. “Nama saya Syaiful. Saya di sini sendiri. Sendiri, tanpa keluarga. Anak, isteri dan keluarga saya lainnya, semua di sana. Saya rindu. Rindu ingin bertemu mereka. Ingin berlebaran bersama mereka. Isteri dan anak-anak saya,” suaranya menyayat. “Oh…,” suaraku terputus di situ. Kata-katanya seperti sembilu. Di sela-sela suara desau angin dan riak air di selat, lelaki itu pun kemudian bercerita tentang dirinya. Sudah setahun lebih ia tinggal di kota asalku, sejak dideportasi dari Malaysia. Empat tahun ia bekerja sebagai TKI di Malaysia. Memasuki tahun kelima, ketika sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke Indonesia, ia terjaring razia polisi di negeri jiran itu. Karena dianggap sebagai pekerja illegal, ia pun dipulangkan paksa, setelah sebelumnya sempat empat bulan ditahan di penjara. “Bersama puluhan pekerja lainnya, saya dinaikkan ke atas sebuah kapal. Saya tak tahu ke mana tujuannya. Yang saya tahu, hanya dipulangkan ke Indonesia. Itu saja. Ternyata kapal yang membawa saya dan para pekerja lainnya itu berhenti di sini, di Bengkalis. Saya pun turun di sini. Dan, akhirnya tinggal di sini sampai setahun ini. Saya ingin pulang ke Sumbawa, tapi tidak ada kapal dari sini yang menuju ke sana,” katanya kelu. “Tapi, Bang Syaiful kan bisa ke Pekanbaru dulu. Nanti dari sana bisa naik bus menuju ke Jawa. Nah, dari Jawa kan mudah untuk bisa sampai ke Sumbawa,” timpalku seraya mencoba meyakinkannya. “Ya, memang ada yang mengatakan begitu. Tapi saya tidak punya cukup uang untuk ongkosnya. Saya di sini hidup dari membantu orang berkebun. Hasilnya hanya cukup untuk sekadar makan saja. Karena itulah saya sering datang ke pelabuhan ini. Hampir tiap hari saya ke mari. Berharap ada kapal yang datang dari Jawa atau Sumbawa, dan membawa saya pulang ke sana. Saya rindu sekali kepada isteri dan anak-anak saya. Dan, lebaran kali ini saya ingin merayakannya bersama mereka di kampung. Mudah-mudahan keinginan saya ini terwujud. Oh, betapa menyenangkan berlebaran bersama keluarga di kampung,” suara sendu lelaki itu nyaris hilang ditelan desau angin malam yang datang dari tengah selat. Senyap. Suara lelaki di sampingku itu tak terdengar lagi. Tapi terlihat ia sedang melepaskan pandangnya jauh ke depan, menembus malam di atas selat. Aku pun kemudian melakukan hal yang sama. Hamparan selat itu terlihat hitam pekat. Entah mengapa awan tebal seakan datang tiba-tiba dan menutupi bulan yang purnama, sehingga cahayanya tak sampai ke atas selat yang memisahkan Pulau Bengkalis dengan Pulau Sumatera itu. Beberapa detik kemudian, lelaki itu bangkit dari duduknya. “Ya …. Sudahlah, saya mau pulang dulu. Saya mau pulang. Doakan ya, saya bisa pulang ke kampung, bisa berlebaran bersama isteri dan anak-anak saya,” katanya seraya membalikkan badan, dan kemudian melangkah pergi meninggalkan ujung pelabuhan tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. Aku kembali dalam kesendirian di ujung pelabuhan. Sendiri memandang malam di atas selat, dan sendiri mendengarkan kecipak air selat yang di telingaku bagaikan simponi alami yang indah. Tak sampai lima menit kemudian, ada sapaan yang mengusik kesendirianku. “Sepertinya sedari tadi asyik sendiri saja di ujung pelabuhan ini?” Aku cepat berpaling kearah datangnya sapaan itu. Ternyata sapaan itu datang dari lelaki separuh baya, petugas penjaga malam pelabuhan, yang tadi kusalami di pintu masuk pelabuhan. Lelaki yang berdiri di belakangku itu tampak melemparkan senyum. “Oh, Tidak. Saya tidak sendiri kok, Pak. Tadi saya di sini berdua dengan seorang lelaki. Dan…. , dia baru saja pulang. Belum ada lima menit,” kataku apa adanya. “Belum ada lima menit? Ah, rasanya tidak mungkin. Sedari tadi tidak ada siapa-siapa lagi yang datang ke ujung pelabuhan ini. Ya, tidak ada siapa-siapa lagi, selain Abang seorang,” ujar lelaki penjaga itu dengan nada heran. “Betul, Pak. Saya tidak berbohong. Saya tadi berdua dengan lelaki itu di ujung pelabuhan ini. Bahkan kami sempat bercakap-cakap. Dia mengaku bernama Syaiful. Dia tadi mengatakan rindu untuk berlebaran dengan anak dan isterinya di kampungnya sana, di Sumbawa. Dia juga mengatakan, kalau dirinya selalu datang ke ujung pelabuhan ini menunggu kalau-kalau ada kapal yang bisa membawanya pulang ke kampungnya itu.” “Siapa namanya?? Syaiful?? Ya…. siapa namanya tadi? Syaiful? Ingin pulang berlebaran di kampungnya? Kampungnya di Sumbawa? Ah… rasanya… tak mungkin. Ya…tak mungkin…,” suara lelaki penjaga pelabuhan itu tampak tergagap dan gugup. “Lho…kenapa, Pak? Kok menjadi gugup seperti ini,” aku pun diburu rasa heran. Dengan terbata-bata, lelaki penjaga pelabuhan itu pun bercerita bahwa tadi pagi telah ditemukan sesosok mayat lelaki terapung di bawah pelabuhan. Dari surat-surat identitas yang ada di saku celananya diketahui lelaki itu mantan TKI di Malaysia, bernama Syaiful, dan berasal dari Bima, Sumbawa. Menurut orang-orang yang mengenalnya, ia memang sering menyatakan keinginannya untuk pulang ke Sumbawa agar bisa berlebaran dengan anak dan isterinya. Dan, dalam tiga bulan teakhir, bila malam ia memang sering terlihat datang ke ujung pelabuhan. *** Yogya menjelang Idul Fitri 1430 H

Lelaki yang Rindu Pulang
Cerpen Sutirman Eka Ardhana

BERTAHUN-TAHUN kurindukan saat seperti ini, malam-malam duduk di ujung pelabuhan, memandangi kemilau purnama yang memantul keemasan di atas permukaan air dan mendengarkan merdunya senandung angin selat yang mendesau di Selat Bengkalis. Ya, bertahun-tahun semuanya kurindukan, bertahun-tahun selalu datang dalam malam-malam tidurku, dan bertahun-tahun pula senantiasa menyertai langkah-langkah hariku.
Kekaguman dan kecintaanku pada laut sudah tertanam sejak kecil. Ketika kecil dulu, hampir setiap petang Ayah selalu mengajakku duduk-duduk di ujung pelabuhan, menyaksikan berbagai pesona keindahan di Selat Bengkalis. Menyaksikan ombak yang menggulung-gulung kecil dan luruh ke tepian. Menyaksikan ikan-ikan tembakul seperti saling berkejaran di pantai. Menyaksikan perahu-perahu nelayan yang menjauh dan menghilang di balik teluk. Menyaksikan burung-burung terbang pulang ke sarang. Dan, menyaksikan semburat jingga matahari di ujung barat yang akan membenamkan diri di balik pulau.
Dan malam ini, semua kerinduan itu akan kutumpahkan. Kerinduan yang menggumpal selama bertahun-tahun itu kini sudah kubawa ke ujung pelabuhan. Aku sendiri di ujung pelabuhan. Tak ada siapa-siapa. Pelabuhan sepi. Tak ada satu kapal pun yang bersandar. Tapi aku menyukai suasana seperti ini. Karena dengan begini, tidak akan ada yang mengganggu keasyikanku melepas semua kerinduanku. Tak ada yang menggangguku mendengarkan merdunya nyanyian ombak. Tak ada yang mengangguku menikmati lembutnya belaian angin selat. Tak ada yang menggangguku menyaksikan betapa indahnya hamparan selat yang disiram cahaya purnama.
Setelah beberapa saat duduk dan diam sendiri seraya pandangan tak pernah lepas dari hamparan selat, tiba-tiba muncul dalam pikiranku keinginan adanya orang lain. Sesungguhnya menyenangkan juga bila ada orang lain di ujung pelabuhan ini, pikirku. Andaikan ada orang lain, tentu bisa diajak bercakap-cakap. Bisa dijadikan kawan ngobrol. Ngobrol tentang laut. Tentang selat. Gelombang. Ikan. Kapal. Perahu. Angin. Atau tentang apa saja.
“Sendiri, Bang?” tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki. Suaranya agak berat.
Aku terkesiap. Aku cepat menoleh ke samping kanan, ke arah datangnya suara itu. Seorang lelaki berkopiah terlihat duduk, sekitar dua meter di samping kananku. Dari bantuan cahaya lampu di ujung pelabuhan yang tak begitu terang, terlihat ia sedikit lebih tua dariku. Kapan datangnya lelaki ini? Kenapa tak kudengar suara detak langkahnya di atas papan lantai pelabuhan? Seperti angin, ia muncul tiba-tiba, dan menyapa.
“Sedang apa, Bang?” suara lelaki itu terdengar lagi. Dari logat dan gaya bicaranya kupastikan ia bukan warga asli di kota ini. Ia pasti warga pendatang.
Aku masih terdiam. Hanya memandangnya dengan penuh selidik. Siapa dia?
“Sedang memancing?”
“Oh, tidak. Saya tidak sedang memancing. Sedang duduk-duduk saja. Hanya memandang laut. Memandang kecipak air di selat ketika malam,” kataku setelah rasa keterkejutanku benar-benar reda.
“Memandang laut? Memandang selat?”
“Ya. Lama saya tak memandangnya. Bertahun-tahun. Sekarang, selagi pulang ke kampung, saya ingin memandangnya puas-puas.”
“Oh, kalau begitu, baru pulang kampung, Bang?”
“Ya. Saya ingin berlebaran di kampung. Lama saya tak berhari raya bersama ibu dan sanak saudara yang lain. Kali ini saya ingin berlebaran bersama mereka.”
“Selama ini di mana?”
“Di Jawa. Setamat sekolah, saya ke Yogya, kuliah dan sekarang bekerja.”
Terus terang, ada perasaan senang yang merambat di hati, karena sudah ada kawan untuk bercakap-cakap.
Tapi kemudian, sepi terasa mencekam. Seakan tak terdengar suara kecipak air di selat, juga desau angin seperti mendadak pergi entah ke mana. Ujung pelabuhan benar-benar dipagut sepi. Apalagi memang tak ada satu kapal pun yang bersandar. Elahan napas lelaki yang di dekatku itu pun seakan tak terdengar.
“Senang ya bisa berlebaran di kampung, dan berkumpul bersama keluarga. Tidak seperti saya,” tiba-tiba terdengar suara lelaki itu memecah kesunyian. Suaranya sendu.
“Lho, memangnya kampung Abang di mana? Di sini juga, kan?” tanyaku spontan.
“Tidak. Kampung saya tidak di sini. Kampung saya jauh di sana. Di Pulau Sumbawa.”
“Jadi Abang dari Sumbawa?”
“Ya. Saya dari Bima, Sumbawa.”
“Maaf, nama Abang siapa? Dan, di sini tinggal bersama siapa?” tanyaku lagi.
“Nama saya Syaiful. Saya di sini sendiri. Sendiri, tanpa keluarga. Anak, isteri dan keluarga saya lainnya, semua di sana. Saya rindu. Rindu ingin bertemu mereka. Ingin berlebaran bersama mereka. Isteri dan anak-anak saya,” suaranya menyayat.
“Oh…,” suaraku terputus di situ. Kata-katanya seperti sembilu.
Di sela-sela suara desau angin dan riak air di selat, lelaki itu pun kemudian bercerita tentang dirinya. Sudah setahun lebih ia tinggal di kota asalku, sejak dideportasi dari Malaysia. Empat tahun ia bekerja sebagai TKI di Malaysia. Memasuki tahun kelima, ketika sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke Indonesia, ia terjaring razia polisi di negeri jiran itu. Karena dianggap sebagai pekerja illegal, ia pun dipulangkan paksa, setelah sebelumnya sempat empat bulan ditahan di penjara.
“Bersama puluhan pekerja lainnya, saya dinaikkan ke atas sebuah kapal. Saya tak tahu ke mana tujuannya. Yang saya tahu, hanya dipulangkan ke Indonesia. Itu saja. Ternyata kapal yang membawa saya dan para pekerja lainnya itu berhenti di sini, di Bengkalis. Saya pun turun di sini. Dan, akhirnya tinggal di sini sampai setahun ini. Saya ingin pulang ke Sumbawa, tapi tidak ada kapal dari sini yang menuju ke sana,” katanya kelu.
“Tapi, Bang Syaiful kan bisa ke Pekanbaru dulu. Nanti dari sana bisa naik bus menuju ke Jawa. Nah, dari Jawa kan mudah untuk bisa sampai ke Sumbawa,” timpalku seraya mencoba meyakinkannya.
“Ya, memang ada yang mengatakan begitu. Tapi saya tidak punya cukup uang untuk ongkosnya. Saya di sini hidup dari membantu orang berkebun. Hasilnya hanya cukup untuk sekadar makan saja. Karena itulah saya sering datang ke pelabuhan ini. Hampir tiap hari saya ke mari. Berharap ada kapal yang datang dari Jawa atau Sumbawa, dan membawa saya pulang ke sana. Saya rindu sekali kepada isteri dan anak-anak saya. Dan, lebaran kali ini saya ingin merayakannya bersama mereka di kampung. Mudah-mudahan keinginan saya ini terwujud. Oh, betapa menyenangkan berlebaran bersama keluarga di kampung,” suara sendu lelaki itu nyaris hilang ditelan desau angin malam yang datang dari tengah selat.
Senyap. Suara lelaki di sampingku itu tak terdengar lagi. Tapi terlihat ia sedang melepaskan pandangnya jauh ke depan, menembus malam di atas selat. Aku pun kemudian melakukan hal yang sama. Hamparan selat itu terlihat hitam pekat. Entah mengapa awan tebal seakan datang tiba-tiba dan menutupi bulan yang purnama, sehingga cahayanya tak sampai ke atas selat yang memisahkan Pulau Bengkalis dengan Pulau Sumatera itu.
Beberapa detik kemudian, lelaki itu bangkit dari duduknya.
“Ya …. Sudahlah, saya mau pulang dulu. Saya mau pulang. Doakan ya, saya bisa pulang ke kampung, bisa berlebaran bersama isteri dan anak-anak saya,” katanya seraya membalikkan badan, dan kemudian melangkah pergi meninggalkan ujung pelabuhan tanpa menoleh sedikit pun kepadaku.
Aku kembali dalam kesendirian di ujung pelabuhan. Sendiri memandang malam di atas selat, dan sendiri mendengarkan kecipak air selat yang di telingaku bagaikan simponi alami yang indah.
Tak sampai lima menit kemudian, ada sapaan yang mengusik kesendirianku.
“Sepertinya sedari tadi asyik sendiri saja di ujung pelabuhan ini?”
Aku cepat berpaling kearah datangnya sapaan itu. Ternyata sapaan itu datang dari lelaki separuh baya, petugas penjaga malam pelabuhan, yang tadi kusalami di pintu masuk pelabuhan. Lelaki yang berdiri di belakangku itu tampak melemparkan senyum.
“Oh, Tidak. Saya tidak sendiri kok, Pak. Tadi saya di sini berdua dengan seorang lelaki. Dan…. , dia baru saja pulang. Belum ada lima menit,” kataku apa adanya.
“Belum ada lima menit? Ah, rasanya tidak mungkin. Sedari tadi tidak ada siapa-siapa lagi yang datang ke ujung pelabuhan ini. Ya, tidak ada siapa-siapa lagi, selain Abang seorang,” ujar lelaki penjaga itu dengan nada heran.
“Betul, Pak. Saya tidak berbohong. Saya tadi berdua dengan lelaki itu di ujung pelabuhan ini. Bahkan kami sempat bercakap-cakap. Dia mengaku bernama Syaiful. Dia tadi mengatakan rindu untuk berlebaran dengan anak dan isterinya di kampungnya sana, di Sumbawa. Dia juga mengatakan, kalau dirinya selalu datang ke ujung pelabuhan ini menunggu kalau-kalau ada kapal yang bisa membawanya pulang ke kampungnya itu.”
“Siapa namanya?? Syaiful?? Ya…. siapa namanya tadi? Syaiful? Ingin pulang berlebaran di kampungnya? Kampungnya di Sumbawa? Ah… rasanya… tak mungkin. Ya…tak mungkin…,” suara lelaki penjaga pelabuhan itu tampak tergagap dan gugup.
“Lho…kenapa, Pak? Kok menjadi gugup seperti ini,” aku pun diburu rasa heran.
Dengan terbata-bata, lelaki penjaga pelabuhan itu pun bercerita bahwa tadi pagi telah ditemukan sesosok mayat lelaki terapung di bawah pelabuhan. Dari surat-surat identitas yang ada di saku celananya diketahui lelaki itu mantan TKI di Malaysia, bernama Syaiful, dan berasal dari Bima, Sumbawa. Menurut orang-orang yang mengenalnya, ia memang sering menyatakan keinginannya untuk pulang ke Sumbawa agar bisa berlebaran dengan anak dan isterinya. Dan, dalam tiga bulan teakhir, bila malam ia memang sering terlihat datang ke ujung pelabuhan. ***
Yogya, menjelang Idul Fitri 1430 H

Read Full Post »

Pertemuan

KOTA ini masih saja seperti dulu. Masih seperti tigapuluh tahun lalu.Lelaki itu melepaskan pandangan ke luar dari jendela kamar hotel tempatnya menginap ketika senja mulai merangkak memeluk kota. Beruntung sekali kamar yang ditempatinya berada paling depan, sehingga ia bisa bebas melihat pemandangan di luar, di halaman hotel yang tidak seberapa luas, maupun kesibukan di jalan raya.Disandarkan badannya ke jendela, seraya pandangannya tak kunjung lepas menatap ke bangunan-bangunan rumah dan toko di seberang jalan, ke pohon-pohon asam yang menua serta lampu-lampu kota yang cahayanya tampak meredup. (lebih…)

Read Full Post »