Feeds:
Pos
Komentar

Pertemuan 1
MK: JURNALISTIK

MEMAHAMI JURNALISTIK
(JURNALISTIK DAN FUNGSINYA)

APA yang dimaksud dengan jurnalistik?
Menurut Dja’far H Assegaf (1983), jurnalist9ik merupakan kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media, baik media cetak maupun media elektronik.
Sementara di dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan, jurnalistik merupakan kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk suratkabar, majalah, atau berkala lainnya.
Pendapat lain mengatakan, jurnalistik adalah ilmu tentang kewartawanan. Dengan kata lain, jurnalistik dapat juga disebut sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana kerja para wartawan atau jurnalis dalam menghasilkan karya-karya jurnalistiknya.
Istilah jurnalistik berasal dari kata “journal” (Perancis) yang berarti suratkabar atau majalah.
Bila aktivitas kegiatan penyampaian pesan atau berita melalui media massa (media pers) itu disebut jurnalistik, maka para pekerjanya disebut jurnalis atau lazim disebut wartawan.
Pers dan jurnalistik adalah dua kata yang sulit dipisahkan. Bahkan banyak pihak yang ‘mencampur-adukkan’ dua istilah itu menjadi satu pengertian yang sama. Hal ini terjadi dikarenakan setiap kali berbicara tentang jurnalistik pasti tidak bias lepas dari pembicaraan tentang pers itu sendiri. Walaupun sebenarnya, membedakan pengertian antara jurnalistik dengan pers bukanlah sesuatu yang sulit.
Jurnalistik adalah bentuk kerja atau hasil kerjanya, sedangkan pers adalah media yang digunakan untuk menyampaikan ‘hasil kerja jurnalistik’ itu.
Akan tetapi mempelajari atau ‘memahami jurnalistik’ sama juga dengan upaya mempelajari maupun ‘memahami pers’ itu sendiri.

Fungsi dan Peran
Pers atau bidang kerja jurnalistik pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai:
1. Pemberi informasi.
2. Pemberi hiburan.
3. Pemberi kontrol (alat kontrol sosial)
4. Pendidik masyarakat.

Pemberi informasi – Fungsi utama pers adalah pemberi informasi atau menyiarkan informasi kepada pembaca (publik). Informasi yang disajikan melalui karya-karya jurnalistik, seperti berita (straight news), feature, reportase dan lainnya, memang sesuatu yang sangat diharapkan publik pembaca, ketika membaca, membeli dan berlangganan media pers. Informasi yang disampaikan pun beragam jenisnya. Tidak hanya sebatas informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, tetapi juga bersifat ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pikiran-pikiran orang lain yang memang layak untuk disampaikan ke publik pembaca.

Pemberi hiburan – Media pers juga punya fungsi untuk menghibur publik pembaca. Menghibur dalam kaitan meredakan atau melemaskan ketegangan-ketegangan pikiran karena kesibukan aktivitas kehidupan. Jadi, informasi yang disajikan media pers tidak hanya berita-berita serius atau berita-berita berat (hard news), tapi juga berita-berita atau karya jurnalistik lainnya yang mampu membuat pembaca tersenyum, dan melemaskan otot-otot pikirannya. Karya-karya menghibur itu bias ditemukan dalam bentuk karya fiksi, seperti cerpen, cerita bersambung, cerita bergambar, karikatur, gambar-gambar kartun, bahkan juga tulisan-tulisan yang bersifat human interest.

Pemberi kontrol (alat kontrol sosial) – Fungsi pemberi kontrol atau sebagai alat kontrol sosial merupakan fungsi penting yang dimiliki pers. Sebagai media penyampai informasi, media pers tidak hanya sebatas menyampaikan atau memberikan informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, akan tetapi berkewajiban juga menyampaikan gagasan-gagasan maupun pendapat yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Bila ada suatu kebijakan, baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga tertentu, yang dipandang tidak sesuai atau berlawanan dengan kepentingan masyarakat, media pers punya kewajiban untuk mengingatkan. Cara mengingatkannya dilakukan melalui tulisan di tajuk rencana maupun karya jurnalistik lainnya.

Pendidik masyarakat – Fungsi sebagai pendidik masyarakat ini juga merupakan fungsi penting yang disandang media pers. Dalam pengertian yang luas, pers berkewajiban mendidik masyarakat pembacanya dengan memberikan beragam pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi peningkatan nilai kehidupan. Sajian-sajian karya jurnalistiknya haruslah mencerahkan dan memberikan tambahan pengetahuan serta wawasan yang luas, sehingga masyarakat memperoleh pemahaman atau pengertian baru tentang kehidupan yang lebih maju dibanding sebelumnya.

Dengan fungsi-fungsinya itu pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Melalui pengaruhnya, pers (media cetak dan media elektronik) dapat membawa dan menyampaikan pesan-pesan maupun gagasan-gagasan (dikemas dalam karya jurnalistik) yang membangun dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian pula dalam pembangunan di bidang sosial-budaya, atau bentuk-bentuk kehidupan di dalam masyarakat, misalnya dalam mewujudkan terjadinya perubahan sosial atau peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern, pers dengan pengaruhnya dapat mempercepat proses perubahan sosial maupun peralihan itu.
Pers melalui karya-karya jurnalistik yang disajikannya mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam menciptakan suatu sikap pembaharuan dalam perilaku dan tatanan sosial serta sikap budaya masyarakat. Khususnya dalam memperbaharui pola pikir masyarakat yang tradisional ke pola pikir modern.
Berdasar pada fungsi dan peranannya yang besar itu, Wilbur Schramm (1982), menyebut pers sebagai “Agen Pembaharu”.
Sebagai agen pembaharu, pers dapat memainkan perannya yang besar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa. Melalui informasi-informasi sebagai hasil kerja jurnalistik yang disajikan kepada masyarakat pembaca (publik), pers dapat merangsang proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, serta membantu mempercepat proses peralihan masyarakaty yang semula berpikir tradisional ke alam pikiran dan sikap masyarakat modern.
Menurut Wilbur Schramm, ada sembilan peranan pers yang sangat membantu terwujudnya proses perubahan di kalangan masyarakat. Sembilan peranan per situ meliputi:
1. Pers dapat memperluas cakrawala pemikiran.
2. Dapat memusatkan perhatian.
3. Mampu menumbuhkan aspirasi.
4. Mampu menciptakan suasana membangun.
5. Mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik.
6. Mampu mengenalkan norma-norma social.
7. Mampu menumbuhkan selera.
8. Mampu merubah sikap yang lemah menjadi sikap yang lebih kuat.
9. Mampu sebagai pendidik.

Melihat pada apa yang telah dikerjakan pers selama ini, dalam kaitan menyampaikan berbagai informasi serta gagasan-gagasan mengenai pembangunan kepada masyarakat, terlihat jelas bahwa fungsi dan peranan pers dalam perubahan sosial di tengah masyarakat tidak dapat diingkari.
Pers atau kerja jurnalistik telah memberikan sumbangan yang besar dan amat berharga dalam merubah sikap pandang dan perilaku masyarakat untuk tanggap serta menerima kehadiran teknologi-teknologi baru.
Melalui berbagai karya jurnalistik atau informasi-informasi yang disajikan, pers akhirnya mampu mempengaruhi, merangsang serta menggerakkan masyarakat untuk turut serta terlibat secara aktif dalam beragam gerak dan aktivitas pembangunan di segala sektor.
Pers telah mencoba menempuh berbagai cara untuk ‘masuk lebih jauh’ ke berbagai ragam persoalan kehidupan masyarakat, baik di kota maupun pedesaan. Misalnya, di bidang kesehatan, pers sudah demikian gencar menginformasikan tentang perlunya menjaga kesehatan, menjaga kebersihan dan menghindari penyakit.
Demikian pula di bidang pembangunan hukum, pers tidak pernah berhenti memberitahukan kepada masyarakat tentang bagaimana menghindari kejahatan, bagaimana menghadapi tindak kriminalitas, bagaimana tentang hak maupun kewajiban seseorang di depan hukum, serta tentang ajakan perlunya melawan korupsi.
Bahkan, di dalam pembangunan sektor keagamaan pun, pers memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Pers dapat dijadikan sarana dakwah yantg efektif, demi pengembangan dan keberhasilan syiar agama, misalnya syiar agama Islam.
Jadi, pers dapat dijadikan sebagai suatu ‘kekuatan besar’ dalam mempengaruhi, merubah perilaku, dan menggerakkan masyarakat. Terutama dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakann yang positif dan bermanfaat bagi kehidupannya. Sebaliknya juga, pers bias ‘diselewengkan’ untuk menggerakkan masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat destruktif, negatif atau tindakan-tindakan tidak bermanfaat lainnya. (SEA)

Sutirman Eka Ardhana

MANTERA LUKA

 

Demi segala kata-kata

tak terkata. Inilah kata-kata

berubah menjadi asap.

Biarkan mengendap, lindap

dalam gelap.

 

Demi segala kata-kata

tak terbaca. Inilah harap

sembunyi dalam senyap.

Bebaskan aku dari perangkap

di lorong pengap.

 

Demi segala kata-kata

tak bermakna. Inilah derita

mengoyak dukalara.

Kemana kupecahkan rahasia

tak terbaca?

 

Demi segala kata-kata

hilang rasa. Inilah hampa

menyayat relung jiwa.

Jangan biarkan aku luka

tak berdaya.

 

Yogya, 2007

 

 

MANTERA SIA-SIA

 

Kalau kau kata-kata bersayap

bawa aku terbang, menyelinap

lepas dari gelap.

Biar kuraba rahasia, agar tak tersesat

di rimba kalimat-kalimat

hitam pekat.

 

Kalau kau kata-kata bersayap

jangan biarkan aku tergagap

mengeja harap.

Kirimi aku cahaya, agar tak lagi

meratapi sunyi

perih sendiri

 

Kalau kau kata-kata bersayap

kenapa biarkan aku terperangkap

dalam senyap?

 

Yogya, 2007

 

 

MANTERA SUNYI

 

Inilah sunyi

tanpa risik daun dan nyanyi

jadilah sebilah belati.

Kukirim lewat pekat malam

menerobos kelam

menikam diam.

 

Inilah sunyi, sebilah belati

kukirim lewat sepi.

Biar tajamnya

menghunjam mimpi-mimpimu.

Agar kau tahu

aku sedang dimabuk rindu.

 

Inilah sunyi

sebilah belati

telah lama menancap

di ulu hati.

 

Yogya, 2007

 

 

 

 

Sutirman Eka Ardhana

MANTERA LUKA

 

Demi segala kata-kata

tak terkata. Inilah kata-kata

berubah menjadi asap.

Biarkan mengendap, lindap

dalam gelap.

 

Demi segala kata-kata

tak terbaca. Inilah harap

sembunyi dalam senyap.

Bebaskan aku dari perangkap

di lorong pengap.

 

Demi segala kata-kata

tak bermakna. Inilah derita

mengoyak dukalara.

Kemana kupecahkan rahasia

tak terbaca?

 

Demi segala kata-kata

hilang rasa. Inilah hampa

menyayat relung jiwa.

Jangan biarkan aku luka

tak berdaya.

 

Yogya, 2007

 

 

MANTERA SIA-SIA

 

Kalau kau kata-kata bersayap

bawa aku terbang, menyelinap

lepas dari gelap.

Biar kuraba rahasia, agar tak tersesat

di rimba kalimat-kalimat

hitam pekat.

 

Kalau kau kata-kata bersayap

jangan biarkan aku tergagap

mengeja harap.

Kirimi aku cahaya, agar tak lagi

meratapi sunyi

perih sendiri

 

Kalau kau kata-kata bersayap

kenapa biarkan aku terperangkap

dalam senyap?

 

Yogya, 2007

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MANTERA SUNYI

 

Inilah sunyi

tanpa risik daun dan nyanyi

jadilah sebilah belati.

Kukirim lewat pekat malam

menerobos kelam

menikam diam.

 

Inilah sunyi, sebilah belati

kukirim lewat sepi.

Biar tajamnya

menghunjam mimpi-mimpimu.

Agar kau tahu

aku sedang dimabuk rindu.

 

Inilah sunyi

sebilah belati

telah lama menancap

di ulu hati.

 

Yogya, 2007

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sutirman Eka Ardhana

SERINGKALI KAU

:er

Seringkali kaudatang, mengetuk pintu

membangunkan angan yang tersisa

dari mimpi-mimpi malam. Seperti lagu

senandungmu tak pernah lelah menyapa

dedaunan senyap, dan aku

menahan luka

 

Seringkali kaudatang, wajahmu sendu

mengajakku menyelusuri jalanan kota

menapaki rahasia tak terbaca

 

Seringkali tatapmu, mengusik duka

jiwaku kelu tak berdaya

 

Yogya, 2003

 

 

PULANGLAH

:er

Seperti burung malam pengelana

pulanglah kau ke sarang, rumah abadimu

simpanlah semua angan dan kenang

dalam lelap tidurmu

 

Yogya, 2003

SEGUMPAL ANGAN

 

Kita pernah berangan-angan

membuat pondok di lereng gunung

“Aku akan mengumpulkan kayu-kayu

dari kebun mimpi kita,” katamu

Tapi menjelang senja kaubilang:

“Biar kusimpan saja kayu-kayu itu

di dalam koperku.”

Kini, masihkah tersimpan

dalam senyapmu?

 

Yogya, 2003

 

BERITA, SUATU SIANG

 

:er

Angin siang ini menabur dupa

mengirim namamu. Aku terpana

tak percaya

 

Angin siang ini membawa berita

Aku berduka

 

Yogya, 2003

 

BAWALAH PERGI

Bawalah pergi, renyai gerimis

di akhir bulan ini

simpanlah basahnya dalam sunyi

detak langkahmu

 

Bawalah pergi, semua kata-kata

yang tersimpan di rumah tua

kenanglah segala rencana

walau sia-sia

 

Bawalah pergi, semua rahasia

hari-hari kita

yang tersia

 

Yogya, 2003

 

 

Sutirman Eka Ardhana

SERINGKALI KAU

:er

Seringkali kaudatang, mengetuk pintu

membangunkan angan yang tersisa

dari mimpi-mimpi malam. Seperti lagu

senandungmu tak pernah lelah menyapa

dedaunan senyap, dan aku

menahan luka

 

Seringkali kaudatang, wajahmu sendu

mengajakku menyelusuri jalanan kota

menapaki rahasia tak terbaca

 

Seringkali tatapmu, mengusik duka

jiwaku kelu tak berdaya

 

Yogya, 2003

 

 

PULANGLAH

:er

Seperti burung malam pengelana

pulanglah kau ke sarang, rumah abadimu

simpanlah semua angan dan kenang

dalam lelap tidurmu

 

Yogya, 2003

SEGUMPAL ANGAN

 

Kita pernah berangan-angan

membuat pondok di lereng gunung

“Aku akan mengumpulkan kayu-kayu

dari kebun mimpi kita,” katamu

Tapi menjelang senja kaubilang:

“Biar kusimpan saja kayu-kayu itu

di dalam koperku.”

Kini, masihkah tersimpan

dalam senyapmu?

 

Yogya, 2003

 

BERITA, SUATU SIANG

 

:er

Angin siang ini menabur dupa

mengirim namamu. Aku terpana

tak percaya

 

Angin siang ini membawa berita

Aku berduka

 

Yogya, 2003

 

 

 

 

 

 

 

 

BAWALAH PERGI

Bawalah pergi, renyai gerimis

di akhir bulan ini

simpanlah basahnya dalam sunyi

detak langkahmu

 

Bawalah pergi, semua kata-kata

yang tersimpan di rumah tua

kenanglah segala rencana

walau sia-sia

 

Bawalah pergi, semua rahasia

hari-hari kita

yang tersia

 

Yogya, 2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lereng Sunyi Merapi

Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

(1)

MALAM baru saja turun. Tapi kesunyian sudah menelan desa di lereng Merapi itu. Dari ujung desa, dua ekor burung gagak terbang beriringan dan meneriakkan suaranya yang menyibak sunyi malam. Oak! Oak! Oak!

Dua ekor burung gagak itu kemudian melintas di atas rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak-teriak – Oak! Oak! Oak! – lalu hinggap secara bersamaan di sebuah pohon besar di depan rumah. Meski sudah bertengger di sebuah dahan, keduanya masih saja mengepak-ngepakkan sayapnya sambil tetap berteriak – Oak! Oak! Oak! Sepertinya ada yang ingin dikabarkan oleh kedua burung gagak itu kepada warga desa yang sejak petang sudah mengurung diri di dalam rumah.

Sejak malam turun, jalanan desa yang kiri-kanannya dipenuhi rimbun pepohonan itu dipagut sepi. Tidak seorang warga pun ada di jalanan. Entah mengapa, dalam beberapa hari terakhir, semua warga desa seakan sepakat bila sehabis mahgrib tidak lagi berada di jalanan atau di luar rumah. Mereka seakan-akan sedang berjaga-jaga di dalam rumah dengan penuh kecemasan.

Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak di langit malam. Teriakan nyaringnya mencemaskan empat orang lelaki yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Keempat lelaki itu bertetangga. Rumah-rumah mereka saling berdekatan. Dan, keempatnya berkumpul di rumah Parmo, yang paling tua di antara mereka.

“Burung-burung gagak itu datang lagi. Berteriak-teriak lagi,” kata salah seorang yang bertubuh tinggi dan berkumis.

“Ya, suara-suara gagak itu membuat aku jadi cemas,” ujar si pemilik rumah, Parmo.

“Jangan-jangan akan ada ……….., ah aku tak bisa meneruskannya. Aku ngeri. Aku takut untuk mengatakannya. Aku khawatir apa yang akan kukatakan itu nanti benar-benar terjadi. Ah, aku tak ingin lagi itu terjadi. Cukuplah …. Ya cukuplah sudah …….,” timpal salah seorang di antaranya yang berbadan kurus.

“Beberapa waktu lalu, ketika ada burung gagak berteriak-teriak seperti itu, sehari kemudian ada dua orang yang terbunuh di desa ini. Mereka adalah para pencuri sapi yang kepergok warga desa. Mereka diamuk, dan tewas,” kata seorang lagi yang berbadan gempal. “Malam ini burung-burung gagak itu datang lagi. Entah kabar buruk apa yang disampaikannya,” tambahnya.

Oak! Oak! Oak! Teriakan burung-burung gagak itu membahana lagi membelah malam. Suaranya semakin nyaring. Semakin keras. Semakin panjang.

“Sepertinya burung-burung itu hinggap di pohon rumah sebelah,” ujar Parmo.

“Rumah Pak Kasan, maksudmu?” tanya yang kurus.

“Ya. Cobalah dengar baik-baik, suara burung-burung gagak itu menjerit-jerit di depan rumah sebelah. Itu pasti di pohon rambutan depan rumah. Suaranya begitu nyaring. Begitu dekat.”

Oak! Oak! Oak! Terdengar pula suara ranting pohon yang jatuh. Sebatang ranting kering yang sudah lama rapuh patah, tak kuat menahan pijakan burung-burung gagak itu.

“Ah, kalau saja aku punya senapan, sudah kutembak burung-burung sial itu,” suara si kurus bernada geram.

“Heh, kenapa pula? Apa salahnya gagak-gagak itu hingga mau kau tembak?” lelaki tinggi dan berkumis terpancing pula untuk bertanya.

“Gagak-gagak itu pembawa bencana. Kalau dia datang dan berteriak-teriak malam-malam seperti ini, pasti akan ada bencana di desa kita. Akan ada jiwa yang melayang. Akan ada yang mati lagi. Besok entah siapa lagi yang mati?”

“Itu bukan salahnya gagak. Justru sebaliknya kita harus berterimakasih kepada gagak-gagak itu. Karena dia sudah memberitahu kita lebih dulu tentang akan adanya bahaya, adanya bencana, atau kematian. Dengan pertanda yang diberikan gagak-gagak itu, kita bisa berjaga-jaga dan bersiap-siap lebih dulu. Jadi, jangan salahkan gagak. Burung-burung itu tak bersalah dan tidak membawa bencana. Pembawa dan penyebab bencana itu biasanya ya manusia sendiri,” kata Parmo serius.

Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak.

 

(2)

Akan halnya di rumah Pak Kasan, Narti kembali membaca isi pesan singkat di telepon selularnya – Minggu dpn aku akn plang ke yogya. Aku pasti ke rumahmu. Aku ingin sekali mmandang Merapi yang indah itu lagi bsamamu. Tunggu, ya. – Wahyu.

Sejak diterimanya petang hari, setidaknya lebih dari enam kali sms dari Wahyu itu dibacanya. Hatinya berbinar-binar. Gembira. Betapa tidak, minggu depan ia akan bertemu lagi dengan Wahyu, pemuda sedesanya yang merantau ke Jakarta, dan yang selama ini diyakininya dengan sepenuh hati sebagai satu-satunya lelaki pujaan.

Pertemuannya yang terakhir dengan Wahyu terjadi enam bulan lalu. Dan, Narti ingat, sederetan kata-kata Wahyu ketika itu, yang diucapkan ketika mereka berdua duduk di pinggiran sungai, sambil memandang ke puncak Merapi yang mempesona. “Jika aku nanti pulang lagi ke desa, sudah kubulatkan tekad, bahwa aku tak akan ingin berjauhan lagi denganmu. Aku akan selalu berada di dekatmu,” ini kata-kata Wahyu saat itu.

“Maksudmu?” Narti ingat, tanya inilah yang spontan dilontarnya sore itu.

“Ya, maksudnya, kita akan selalu bersama. Berdua. Aku akan melamarmu. Lalu kita menikah. Akan kita jalani kehidupan ini bersama. Pendek kata, aku ingin sehidup dan semati denganmu. Kau bersedia kan, Nar?”

Narti tersenyum sendiri. Lalu, ia pun membayangkan saat-saat mendebarkan itu. Wahyu dan keluarganya datang ke rumahnya melamar, kemudian mereka menikah, duduk berdua di pelaminan, disaksikan sanak keluarga, kawan-kawan, para tetangga dan handai-tolan  lainnya. Ah, kebahagiaan yang tiada tara!

Narti melangkah ke jendela, lalu dibukanya jendela itu sedikit. Dipandangnya malam di luar rumah. Malam seperti dipeluk kelam. Cahaya lampu listrik di depan rumah yang hanya 25 watt tak mampu melawan kegelapan. Tapi dengan cahaya yang tipis itu ia sempat melihat awan hitam seakan bergerombol tebal di pucuk-pucuk pepohonan.

 

(3)

Wahyu gelisah membaca berita di koran-koran dan menonton tayangan berita di televisi bahwa Gunung Merapi beraksi lagi. Mulai meletus lagi! Dan, melontarkan awan panas! Ia pun sontak teringat desanya di lereng Merapi. Teringat kedua orangtuanya, adik-adiknya dan kerabatnya. Juga, Narti!

Tak ada pilihan lain. Selain secepatnya pulang ke Yogya. Hari itu juga ia minta izin di tempat kerjanya, lalu ke stasiun kereta api, naik kereta api apa pun yang paling awal bisa membawanya pulang ke Yogya.

Wahyu naik kereta api jurusan Jakarta – Surabaya yang berhenti di Yogya. Tengah malam ia sampai di Yogya. Lalu, sepedamotor ojek membawanya menembus dingin malam menuju desanya. Semula pengemudi ojek agak keberatan membawanya ke desa di lereng Merapi itu, tapi setelah disodori ongkos yang berlipat, pengemudi ojek itu pun mengangguk.

Ketika memasuki desa, kedatangannya disambut dengan suara nyaring burung-burung gagak – Oak! Oak! Oak!

(4)

KEESOKAN harinya stasiun-stasiun televisi sibuk memberitakan sebuah desa di lereng Merapi, yang terletak di pinggiran sungai diterjang awan panas yang dimuntahkan Gunung Merapi pada dini hari. Sejumlah warga desa itu ditemukan tewas.

Keesokan harinya lagi, tim evakuasi yang terdiri para relawan, anggota TNI dan Polri menemukan mayat Parmo tergeletak di depan rumahnya. Di sebelah rumah Parmo, tim evakuasi menemukan mayat seorang gadis tergeletak di depan pintu rumah. Dari dalam dompet di saku celana panjang yang dikenakannya ditemukan KTP atas nama Sunarti, usia 23 tahun. Kemudian di dalam rumah, ditemukan jasad lelaki tua berdampingan dengan perempuann tua. Sementara di depan rumah, tak sampai empat meter dari depan pintu, ditemukan pula seorang lelaki muda tergeletak tak bernyawa.

Desa di lereng Merapi itu sunyi, bagaikan desa mati. Burung gagak pun pergi.

Yogya, November 2010

(Dimuat Harian “Kedaulatan Rakyat” edisi Minggu, 14 Nov 2010)

Cerpen “RAHASIA LELAKI”

Rahasia Lelaki

Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

KEGEMBIRAAN lelaki itu seketika lenyap, ketika anak lelakinya datang dan memperkenalkan perempuan muda yang menjadi calon isterinya. Kegembiraan yang sudah dipendamnya selama tiga hari tiga malam itu mendadak berubah drastis menjadi kegelisahan yang dahsyat. Kegelisahan itu bercampurbaur dengan kecemasan dan ketakutan yang teramat sangat.
Tiga hari lalu, pagi-pagi sekali anak lelakinya yang baru sebulan diwisuda menjadi sarjana komunikasi itu datang menemuinya di beranda rumah.
“Pak, saya mau menikah,” kata anak lelakinya dengan suara agak tergagap.
Lelaki itu terpana. Ia merasa tak yakin dengan kata-kata yang baru saja didengarnya.
“Bapak merestui kan kalau saya mau menikah?” lagi anak lelakinya bersuara.
“Kamu mau menikah? Apa telinga Bapak tidak salah dengar?” lelaki itu bertanya dengan keheranan yang masih mengental.
“Tidak, Pak. Bapak tidak salah dengar. Saya kepingin menikah. Untuk itu saya minta Bapak dan Ibu segera melamar gadis calon isteri saya itu ke orangtuanya.”
Isteri lelaki itu muncul di beranda. Pembicaraan menjadi berhenti seketika.
“Lagi membicarakan apa? Saya datang kok langsung diam?” tanya isterinya, curiga.
Mereka saling pandang. Anak lelakinya mencoba tersenyum. Tapi di balik senyum itu terlihat jelas ada ketegangan di wajahnya.
“Ada apa, tho?” suara isterinya tak sabar.
“Ini lho, anak lelakimu ini menyatakan keinginannya untuk menikah. Ia minta kita untuk melamar seorang gadis, calon isterinya itu,” lelaki itu berkata apa adanya.
“Menikah? Melamar?” gumam isterinya, seperti tak yakin.
“Ya, itu yang tadi dikatakan anak lelakimu ini.”
“Tapi yang mau dilamar itu siapa? Anak siapa? Dan tinggal di mana? Apa perempuan Yogya? Perempuan Solo? Perempuan Magelang? Atau perempuan dari Gunungkidul?” tanya beruntun dari isterinya.
“Nah, itu tadi yang ingin kutanyakan. Tapi keburu kamu datang, pertanyaannya jadi buyar.”
“Ayo, sekarang jelaskan, siapa gadis pilihanmu itu? Siapa orangtuanya? Dan di mana tinggalnya?” tanya isterinya ini ditujukan kepada anak lelakinya.
Dicecar pertanyaan seperti itu, anak lelakinya pun gugup.
“Ayo, cepat katakan. Biar semuanya jadi jelas.”
“Namanya …… namanya ….. Trisnani. Nama orangtuanya …….. wah …. saya masih belum jelas. Nantilah saya tanyakan. Tapi orangtuanya tinggal di Jakarta,” jawab anak lelakinya terbata-bata.
“Dan perempuan yang ingin kau lamar itu sekarang tinggalnya di mana? Di Jakarta atau di Yogya?”
“Dia kost di Yogya. Dia baru saja lulus D-3 Perhotelan.”
“Sudah berapa lama kau kenal dia?”
“Sekitar satu tahun. Tapi pacarannya ya baru enam bulanan ini.”
“Belum pernah diajak kemari?”
“Belum. Saya sengaja tidak pernah mengajaknya ke rumah dan mengenalkannya kepada Bapak dan Ibu, soalnya biar jadi kejutan.”
“Apakah niatmu ini sudah bulat?”
“Sudah.”
“Baiklah, nanti biar Bapak dan Ibu rundingkan dulu. Dan yang penting, ajak anak perempuan itu ke mari, kenalkan pada Bapak dan Ibu.”
“Baik, nanti tiga hari lagi dia saya kenalkan kepada Bapak dan Ibu.”
Malam hari, lelaki itu dan isterinya pun sibuk membicarakan keinginan anak lelakinya untuk menikah.
“Tentang keinginan anak kita itu, menurutmu bagaimana, Bu?” tanya lelaki itu ketika bersama isterinya sudah berada di atas tempat tidur.
“Ya, terserah Bapak saja.”
“Kalau menurutku, ya senang-senang saja kalau dia mau menikah. Mau punya isteri. Apalagi dia sudah sarjana. Dan terus terang, di usia-usia menjelang senja seperti ini aku memang sudah kepingin punya cucu. Kepingin momong cucu. Wah, betapa bahagianya kalau punya cucu.”
“Ah, melamar saja belum. Apalagi menikah. Kok, sudah menghayal momong cucu. Bapak ini mengada-ada saja.”
“Aku tidak mengada-ada, Bu. Aku mengatakan hal yang sebenarnya akan terjadi nanti. Karenanya kita harus segera memenuhi keinginan anak kita itu, melamar calon isterinya. Melamar secepatnya. Biar cepat pula mereka menikah. Dan kemudian akan cepat pula kita punya cucu.”
“Tapi, anak kita itu kan belum bekerja, Pak. Bagaimana nanti ia mengurusi rumahtangganya?”
“Ah, soal bekerja itu soal nanti. Yang penting, aku ingin cepat-cepat punya cucu. Apalagi kita kan masih sanggup bila hanya membiayai kehidupan seorang menantu dan seorang cucu. Bahkan beberapa cucu pun masih sanggup.”
Tiga hari yang dijanjikan anak lelakinya pun tiba. Menjelang petang anak lelakinya datang bersama seorang perempuan muda. Perempuan muda itu cantik. Berkulit kuning langsat. Rambutnya tergerai ikal sebahu. Dan, ada lesung pipit di kedua pipinya.
Lelaki itu sudah tak sabar lagi untuk melihat wajah calon menantunya. Isterinya yang sedang berada di dapur langsung ditariknya menuju ke ruang tamu.
“Ayo Bu, calon menantu kita sudah datang,” serunya gembira sambil menarik lengan isterinya.
“Sabar dulu tho, Pak. Biarkan dia duduk dulu di ruang tamu.”
“Aku sudah tidak sabar untuk segera melihatnya, Bu.”
Begitu muncul di ruang tamu, lelaki itu terpana sesaat. Matanya nyaris tak berkedip sedikitpun. Perempuan muda yang dibawa anak lelakinya itu benar-benar cantik. Luar biasa! Dia benar-benar cantik! Betapa bangganya punya menantu secantik itu! Isterinya pun terpesona. Ada kegembiraan yang meledak-ledak dalam hatinya menyaksikan anak lelaki semata wayangnya itu begitu pandai memilih calon isteri.
“Pak …Bu…, kenalkan ini Trisnani yang saya ceritakan itu,” kata anak lelakinya memperkenalkan perempuan muda yang bersamanya.
Trisnani, perempuan cantik yang dibawa anaknya itupun mengulurkan tangan dengan sopan dan malu-malu. Lelaki itupun menyambutnya dengan gembira dan penuh semangat. Isterinya juga melakukan hal yang sama.
Mereka lalu terlibat pembicaraan yang hangat dan menyenangkan.
“Orangtua Nak Trisnani tinggal di Jakarta?” lelaki itu mulai bertanya.
“Betul, Pak,” perempuan yang dikenalkan anaknya itu menjawab lembut.
“Boleh kami tahu, siapa nama orangtua Nak Trisnani?” lelaki itu bertanya lagi, untuk mengetahui lebih jauh tentang keluarga sang calon menantu.
“Nama ayah saya, Pramono. Lengkapnya, Pramono Sulistyo.”
“Oooo,” lelaki itu manggut-manggut. Juga isterinya.
“Kalau nama ibunya, siapa?” isteri lelaki itu ikut bertanya, ketika perempuan kekasih anaknya baru saja akan melanjutkan kata-katanya.
“Ibu saya, namanya Farida.”
“Siapa?” tanya lelaki itu untuk lebih meyakinkan lagi nama yang baru saja didengarnya.
“Farida, Pak. Lengkapnya Farida Utaminingsih.”
Lelaki itu tergetar. Nama yang diucapkan itu mengingatkannya pada seseorang. Pada seorang perempuan yang dulu sempat singgah dalam kehidupannya.
“Farida Utaminingsih?” tanpa sadar lelaki itu mengucapkannya, meski lirih.
“Betul. Dan waktu muda dulu, ibu saya lebih dikenal dengan nama Farida Santoso.”
Dada lelaki itu tak hanya tergetar, tapi tergoncang. Lelaki itu menahan napas, dan mencoba menahan getaran serta goncangan di dadanya.
“Ya, Farida Santoso. Santoso itu kakek saya, tapi sekarang sudah almarhum. Kakek saya itu orang Yogya, dan sekarang saya tinggal di rumah kakek.”
“Di mana?”
‘Di Kotagede.’
Getaran dan goncangan di dada lelaki itu semakin dahsyat. Tubuhnya terasa lemas dan berkeringat dingin. Tapi ia masih belum yakin sepenuhnya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia masih ingin bertanya. Bertanya lebih jelas lagi.
“Berapa usia Nak Trisnani sekarang?” lelaki itu bertanya lagi dengan harap-harap cemas.
“Duapuluh satu tahun, Pak. Saya lahir tahun 82.”
Dada lelaki itu seperti ditusuk tombak.
“Oh iya, saya ada membawa foto ibu saya, tapi fotonya waktu muda dulu, semasa masih di Yogya,” kata perempuan kekasih anaknya lagi sambil membuka dompet dan mengeluarkan sehelai foto, lalu menyerahkannya ke lelaki itu.
Tangan lelaki itu tergetar menerimanya. Dan, jantungnya seperti berhenti berdetak, takkala memandang sehelai foto perempuan yang ada di tangannya. Betapa tidak. Wajah di foto itu tak mungkin dilupakannya. Wajah itu, wajah yang pernah punya arti. Wajah yang dulu sempat menyelusup ke dalam hatinya. Wajah Farida Santoso. Wajah kekasih gelapnya kala itu.
Lelaki itu tak mampu bersuara lagi. Getaran dan goncangan di dadanya kian memuncak. Dadanya sesak. Kepalanya memberat, bagai dibebani bongkahan-bongkahan batu. Dan matanya mendadak berkunang-kunang.
Setelah meletakkan foto itu di meja, tanpa berkata apa-apa lagi, ia mencoba bangkit dari duduk. Tapi tubuhnya limbung dan terhuyung-huyung.
“Eh ……..Pak, kenapa?” isterinya terkejut melihat lelaki itu nyaris terjatuh.
“Kepalaku mendadak pusing. Pusing sekali,” lelaki itu masih sempat berkata begini.
Lelaki itu dipapah, dibawa ke kamar oleh isteri dan anaknya. Sementara perempuan yang menjadi kekasih anaknya hanya bingung dan terheran-heran.
****
DI DALAM kamar, setelah ditinggal isteri dan anaknya keluar, lelaki itu berbaring dengan kegelisahan yang sulit dikendalikannya lagi. Kegelisahan itu begitu dahsyat. Begitu luar biasa. Seumur hidup belum pernah ia merasakan kegelisahan sedahsyat ini.
Ingatannya lalu melayang ke masa-masa duapuluh tahun lebih yang lalu. Ingatannya tertuju ke sebuah nama, Farida Santoso. Nama yang tadi disebutkan oleh kekasih anak lelakinya sebagai nama ibunya. Padahal, nama itu adalah nama kekasih gelapnya dulu. Nama pasangan selingkuhnya waktu itu.
Ia pun lalu ingat, suatu hari duapuluh satu tahun lalu, Farida Santoso datang menemui dan mengatakan dirinya hamil. Dan, iapun ingat, bagaimana terlukanya hati Farida waktu itu, karena ia mengatakan tidak bisa bertanggungjawab, karena sudah punya anak isteri. Untunglah Farida tidak terus mendesaknya, bahkan memilih membawa luka hatinya ke Jakarta.
“Kalau begitu, perempuan kekasih anakku itu pasti anakku juga. Pasti anak dari benihku yang dikandung Farida dulu, dan yang dibawanya pergi meninggalkan Yogya. Kalau begitu, ia tidak boleh jadi menantuku. Tidak. Sama sekali tidak boleh. Ia adalah anakku juga,” deretan kata-kata ini menerjang keras di dalam dadanya.
Dan, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk memberitahukan kepada anak lelakinya, juga kepada isterinya, tentang siapa Trisnani sebenarnya. Tapi ia tak kuasa melakukannya. Ia tidak punya keberanian untuk membuka rahasia kelam masa lalunya. Ia tak kuasa untuk membuat hati isterinya terluka. Mulutnya seakan terkatup rapat, tak bisa digerakkan.
Di dalam kamar, ia pun terkulai, tak berdaya.***
Yogya, 2003.